Hikayat
HIKAYAT
Hikayat
adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu
yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang
kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian
serta mukjizat tokoh utama.
Macam-macam Hikayat:
1. Melayu Asli (contoh: Hikayat Malim Deman)
2. Pengaruh Jawa (contoh: Hikayat Panji Semirang)
3. Pengaruh Hindu (India) (contoh: Hikayat Sri Rama (dari cerita Ramayana))
4. Pengaruh Arab-Persia (contoh: Hikayat Seribu Satu Malam)
1. Melayu Asli (contoh: Hikayat Malim Deman)
2. Pengaruh Jawa (contoh: Hikayat Panji Semirang)
3. Pengaruh Hindu (India) (contoh: Hikayat Sri Rama (dari cerita Ramayana))
4. Pengaruh Arab-Persia (contoh: Hikayat Seribu Satu Malam)
Ciri-ciri Hikayat :
1. Anonim : Pengarangnya tidak dikenal
2. Istana Sentris : Menceritakan tokoh yang berkaitan dengan kehidupan istana/ kerajaan
3. Bersifat Statis : Tetap, tidak banyak perubahan
4. Bersifat Komunal : Menjadi milik masyarakat
5. Menggunakan bahasa klise : Menggunakan bahasa yang diulang-ulang
6. Bersifat Tradisional : Meneruskan budaya/ tradisi/ kebiasaan yang dianggap baik
7. Bersifat Didaktis : Didaktis moral maupun didaktis religius (Mendidik)
8. Menceritakan Kisah Universal Manusia : Peperangan antara yang baik dengan yang buruk, dan dimenangkan oleh yang baik
9. Magis : Pengarang membawa pembaca ke dunia khayal imajinasi yang serba indah
1. Anonim : Pengarangnya tidak dikenal
2. Istana Sentris : Menceritakan tokoh yang berkaitan dengan kehidupan istana/ kerajaan
3. Bersifat Statis : Tetap, tidak banyak perubahan
4. Bersifat Komunal : Menjadi milik masyarakat
5. Menggunakan bahasa klise : Menggunakan bahasa yang diulang-ulang
6. Bersifat Tradisional : Meneruskan budaya/ tradisi/ kebiasaan yang dianggap baik
7. Bersifat Didaktis : Didaktis moral maupun didaktis religius (Mendidik)
8. Menceritakan Kisah Universal Manusia : Peperangan antara yang baik dengan yang buruk, dan dimenangkan oleh yang baik
9. Magis : Pengarang membawa pembaca ke dunia khayal imajinasi yang serba indah
Contoh:
Pada zaman
dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri.
Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Demikianlah miskinnya
keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian,
suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.
“Istriku,”
kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah
di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal,
aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak
pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”
“Entahlah,
suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada Tuhan agar
nasib kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa
Tuhan terlalu membenci kita karena kita miskin?” keluh sang istri.
Malam itu,.
Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah, “Kalau aku diberi anak,
sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan kasih sayang.” Entah sadar
atau tidak pula, si istri pun mengamini doa suaminya.
Beberapa
minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya. Bulan berganti
bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit dalam perutnya
teramat sangat. Ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum sejenak
mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu,
ternyata tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.
Singkat
cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah
berumur remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan
keluarganya, sang ayah bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut
dagangan orang untuk mendapatkan sedikit bekal makanan yang akan mereka nikmati
bersama.
Sahdan,
suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan
si ibu, tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu
sejak kehilangan sang ayah. Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat
keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama cabe rawit karena tubuhnya memang
kecil seperti cabe
Cabai
rawit mendesak ibunya agar diizinkan
bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun akhirnya memberikan izin kepada cabe
rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa bekal apa pun.
Belum sampai
ke pasar, di perempatan jalan, melintaslah seorang pedagang beras dengan
sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit, ia mendengar
sebuah suara. “Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu
menggilas tubuhku yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti,” kata suara itu.
Berhentilah
pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak
didapatinya seorang manusia pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah
mendengar suara tersebut berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari
pontang-panting ketakutan. Ia mengira ada makhluk halus yang sedang
mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang tidak kelihatan karena
tubuhnya yang teramat mungil. Sepeninggalan pedagang beras,
cabe rawit pulang sambil membawa sedikit beras yang sudah ditinggalkan oleh
pedagang tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu bertanya. “Tadi, di jalan aku
bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba meninggalkan berasnya begitu
saja. Daripada diambil orang lain atau dimakan burung, kuambi sedikit, kubawa
pulang untuk kita makan. Bukankah kita sudah tidak memiliki beras lagi?” jawab
cabe rawit.
Keesokan
harinya, hal serupa kembali terjadi pada pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga
ketakutan saat mendengar ada suara yang menyapanya. Ia lari lintang pukang
meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka pulanglah cabe rawit sembari membawa
beberapa ikan semampu ia papah.
Begitulah
hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di
perempatan atau pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta,
keluarga yang dulunya miskin dan jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah
harta. Pedagang beras akan meninggalkan berasnya di jalan saat mendengar suara
cabe rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas
pun pernah melakukan hal itu. Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda
miskin menjadi hidup bergelimang harta.
Orang-orang
kampung pun mulai curiga. Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang
sangat kecil, sebesar cabe. Suasana berubah menjadi tegang. Si janda
menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang sumpah yang pernah ia lafalkan
dengan sang suami tentang keinginan punya anak walau sebesar cabe pun.
Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana. Akhirnya, para penduduk sepakat
membangun sebuah rumah lebih bagus untuk si janda bersama anaknya. Hidup
makmurlah keluarga cabe rawit. Ia tidak lagi harus pergi ke pasar sehingga
membuat orang-orang takut.
Unsur-unsur intrinsiknya:
1. Tema : Cabe rawit.
2. Seting
a. Tempat : Pasar, jalan
b. Waktu : Malam hari, Pagi hari.
c.Suasana : Tegang,Menyedihkan
3.Alur : Maju.
4.Penokohan
a.Protagonis : Sahdan (ibu cabe
rawit), Ayah cabe rawit.
b.Antagonis : Cabe rawit.
c.Tritagonis : Pedagang.
d.Figuran : Penduduk, Hatta.
5.Amanat :
Bersabarlah meski mendapat cobaan seberat apapun, dan selalu berusaha dan berdo’a.
Jangan mengambil sesuatuyang bukan menjadi hak kita.
6.Sudut
pandang : Orang ketiga.
7.Gaya
bahasa : Peribahasa, Majas.
Usur-unsur ekstrinsiknya :
ü Nilai pendidikan (Kera Keras; Membantu orang tua;
Berhati-hati dalam ucapan; Tidak
mengambil barang orang lain tanpa izin
ü Nilai Religius (Tetap beribadah,
berdoa, dan bersabar dalam keadaan apapun dan tidak mengenal usia)
ü Nilai sosial (Membantu orang lain, terutama
tetangga dekat yang membutuhkan)
Komentar
Posting Komentar